Prinsip Kerja Satelit
Satelit adalah stasiun relay yang digantung di langit. Disebut stasiun relay karena fungsi utama satelit adalah merelay sinyal-sinyal yang berasal dari bumi. Sinyal-sinyal yang diterimanya dari bumi itu digeser dulu frekuensinya baru kemudian dipancarkan kembali ke bumi. Jadi pada dasarnya satelit itu berisi rangkaian translator frekuensi, yaitu rangkaian elektronik yang terdiri dari penerima, penggeser frekuensi dan pemancar [perhatikan gambar (1) di bawah ini].
Gambar (1): Diagram blok rangkaian penggeser frekuensi di dalam satelit
Sinyal dari bumi yang sampai ke satelit sangat lah lemah. Sebab sinyal yang dikirim dari bumi hingga mencapai satelit akan melalui lintasan (path) ruang yang sangat jauh sehingga sinyal akan mengalami redaman (free space path loss) yang sangat besar. Redaman ini disebabkan karena sifat radiasi gelombang elektromagnetik itu memancar ke segala arah (seperti bola yang mengembang) sehingga kekuatan sinyal akan melemah sebanding dengan kuadrat dari jarak yang ditempuhnya. Selain itu jarak tempuh itu akan terasa semakin jauh bagi sinyal yang panjang gelombangnya makin pendek. Dengan demikian besarnya redaman ini berbanding lurus dengan kuadrat dari jarak dan frekuensi yang digunakan, dimana secara matematis dituliskan sbb.:
Untuk memudahkan perhitungan, formula di atas bisa disederhanakan menjadi:
L = 32.4 + 20 Log d + 20 Log f
L adalah besarnya Loss atau redaman (dalam satuan dB)
f adalah frekuensi kerja yang digunakan (dalam satuan MHz)
d adalah jarak tempuh antara stasiun bumi dng satelit (dalam satuan km)
Sekedar contoh misalnya frekuensi kerja yang digunakan untuk up-link adalah 6 GHz = 6.000 MHz, dan jarak antara stasiun bumi ke satelit = 36.000 km, maka besarnya redaman pada arah up-link
L-up = 32.4 + 20 Log 36.000 + 20 Log 6.000 = 32.4 + 91.1 + 75.6 = 199.1 dB
Redaman ini sangat besar sehingga sinyal yang diterima di satelit sangatlah lemah. Maka agar sinyal yang sangat lemah ini bisa dipancarkan kembali ke bumi dengan daya pancar yang cukup, dibutuhkan rangkaian penguat yang bertingkat-tingkat. Pada tingkat pertama sinyal diperkuat oleh gain antenna penerima. Output dari antenna yang juga masih sangat lemah kemudian diperkuat lagi dengan LNA (Low Noise Amplifier). Setelah levelnya cukup, sinyal ini kemudian dimasukkan ke rangkaian mixer-1 untuk digeser frekuensinya ke frekuensi L-Band.
Penggeseran frekuensi menurunkan level sinyal, sehingga sinyal harus diperkuat lagi pada tahap ini. Setelah levelnya cukup, sinyal dimasukkan lagi ke mixer-2 untuk digeser lagi frekuensinya ke frekuensi kerjanya (frekuensi down link). Pada tahap ini sinyal diperkuat lagi oleh driver amplifier dan kemudian diperkuat oleh HPA (High Power Amplifier) agar diperolah daya pancar yang cukup besar. Pada tahap akhir, sinyal kemudian diperkuat lagi oleh antenna pemancar untuk menghasilkan apa yang disebut dengan EIRP (Equivalent Isotropic Radiated Power). Besaran EIRP inilah yang kemudian oleh satelit dipancarkan kembali ke bumi.
Sebagaimana dijelaskan pada bab translasi frekuensi, pergeseran frekuensi sama sekali tidak mengubah nilai informasi yang terkandung di dalam sinyal tersebut. Jadi meskipun di satelit frekuensi sinyal di geser sebanyak dua kali, akan tetapi informasi yang terkandung di dalamnya masih tetap utuh (sama sekali tidak berubah). Oleh karena itu menjadi jelas bahwa fungsi satelit dalam hal ini hanya merelay sinyal yang berasal dari bumi untuk kemudian dipancarkan lagi kembali ke bumi.
Pergeseran frekuensi sebanyak dua kali dimaksudkan untuk memperoleh gain yang sangat tinggi. Sebab memperkuat sinyal di satu frekuensi kerja akan menyebabkan amplifier mudah berosilasi (sinyal output masuk kembali ke input). Untuk menghindari hal ini terjadi maka sinyal harus diperkuat pada frekuensi kerja yang berbeda-beda. Dalam gambar (3) diperlihatkan sebuah contoh bahwa gain total satelit adalah sekitar 170 dB. Gain sebesar ini akan sangat sulit diperoleh bila amplifier bekerja pada satu frekuensi kerja. Oleh karena itu penguatan sinyal dilakukan di 3 frekuensi yang berbeda. Pertama sinyal diperkuat pada frekuensi Rx (dengan menggunakan LNA). Kemudian frekuensinya digeser ke L-Band dan penguatan kedua dilakukan pada frekuensi ini. Selanjutnya frekuensi sinyal di geser lagi ke frekuensi Tx dan diperkuat lagi (oleh HPA) hingga mencapai daya pancar sesuai yang diinginkan. Dengan cara ini maka akan diperoleh gain total yang sangat tinggi.
Penguatan sinyal mulai dari antenna penerima, LNA, HPA hingga antenna pemancar disebut dengan Gain Satelit [perhatikan gambar (1) di atas]. Besarnya Gain Satelit telah didesain sedemikian rupa sehingga sinyal yang diterima dari bumi mampu menghasilkan daya pancar maksimum sesuai kapasitas HPA yang terpasang di satelit. Daya output dari HPA selanjutnya diperkuat lagi oleh antenna sehingga diperoleh EIRP yang tinggi. Sebab sinyal yang dipancarkan oleh satelit ke bumi akan mengalami redaman yang sangat besar. Sekedar gambaran misalnya frekuensi down link yang digunakan adalah 4 GHz = 4.000 MHz, maka besarnya redaman pada arah Down Link adalah:
L-down = 32.4 + 20 Log 36.000 + 20 Log 4.000 = 32.4 + 91.1 + 72.0 = 195.5 dB
Redaman down-link ini sangat besar, sehingga sinyal yang diterima di bumi juga sangat lemah. Itulah sebabnya dibutuhkan gain yang cukup besar di stasiun penerima di bumi agar informasi yang terkandung dalam sinyal dapat dideteksi kembali. Apabila kualitas sinyal yang diterima belum sesuai dengan kebutuhan, maka daya pancar di sisi pengirim perlu diperbesar. Dengan cara ini maka secara otomatis daya yang dipancarkan oleh satelt juga ikut membesar. Kenaikan daya pancar di satelit merupakan fungsi linier dari kenaikan daya pancar di pengirim. Sebagai contoh misalnya, bila daya pancar di sisi pengirim dinaikkan 3 dB, maka daya pancar satelit juga akan naik 3 dB. Jika dinaiikan lagi 10 dB maka daya pancar di satelit juga akan naik 10 dB. Demikian seterusnya hingga pada suatu titik dimana kenaikan daya pancar di satelit tidak lagi linier. Pada titik ini daya pancar satelit sudah melampaui batas liniernya. Oleh karena itu penambahan daya di sisi pengirim tidak boleh sembarangan. Ada batas tertentu yang tidak boleh dilampaui. Inilah yang disebut dengan istilah Power Limitted, artinya satelit memiliki daya pancar yang terbatas.
Apabila daya pancar di sisi pengirim sudah tidak bisa lagi dinaikkan, sedangkan sinyal yang diterima masih belum sesuai dengan kebutuhan, maka jalan satu-satunya adalah dengan memperbesar diameter antena penerima. Makin besar diameter antena penerima akan semakin baik, karena sistem penerima akan menjadi lebih sensitif, artinya lebih mampu menerima sinyal-sinyal yang lemah. Namun makin besar diameter antena akan memerlukan lahan yang lebih besar, ukuran yang besar jelas tidak praktis dan harganya pun juga pasti lebih mahal. Oleh karena itu perhitungan daya pancar di sisi pengirim maupun besarnya diameter antena di sisi penerima harus dihitung dengan benar. Untuk itu ada beberapa paremeter yang perlu diketahui. Parameter satelit seperti G/T, Saturated Field Density (SFD) dan EIRP serta peta contour atau foot print umumnya diberikan oleh operator/pemilik satelit kepada para pelanggannya, sehinga masing-masing pelanggan dapat menghitung sendiri apa-apa yang dibutuhkannya.
Gambar (2): Illustrasi redaman up-link dan down-link
Gambar (3): Illustrasi level sinyal mulai dari pengirim, satelit hingga penerima di bumi.
Klik di sini untuk gambar yang lebih besar.
Frekuensi Transponder
Frekuensi yang digunakan pada komunikasi satelit disusun dalam bentuk kanal-kanal yang disebut dengan transponder. Satu satelit bisa memilki banyak transponder, tergantung dari design dan tujuan penggunaannya. Sebagai contoh misalnya Satelit Palapa-D memiliki 40 transponder yang terdiri dari 24 transponder C-band, 11 transponder Ku-band dan 5 transponder Extended C-band. Jumlah transponder sebanyak ini dimaksudkan untuk mengatisipasi kebutuhan pelanggan yang semakin meningkat. Dulu satelit Palapa generasi pertama (Palapa-A1) hanya membawa 12 transponder saja (C-band) karena pada jaman itu (Papala-A1 diluncurkan bulan Juli 1976) kebutuhan akan transponder masih sangat rendah. Contoh lainnya adalah satelit Cakrawarta-1 (diluncurkan bulan November 1997) dimana satelit ini hanya membawa 5 transponder saja (S-band), karena dengan 5 transponder ini sudah cukup untuk menyiarkan 40 program siaran TV berlangganan (Indovision).
Pita frekuensi satelit yang paling populer adalah C-band (4 – 6 GHz) karena sinyal pada frekuensi ini tidak terpengaruh oleh hujan dan bebas dari interferensi sinyal-sinyal microwave teresterial. Alokasi frekuensi pada C-band dirinci dalam gambar di bawah ini, dimana bandwidth satu transponder dibatasi sebesar 36 MHz dan antar transponder diberi jarak (guard band) sebesar 4 MHz (gambar 1b). Gambar 1a memperlihatkan alokasi frekensi dari masing-masing transponder berikut frekuensi tengahnya, sedangkan gambar 1c memperlihatkan frekuensi maksimum dan minimum dari sebuah transponder (dalam gambar ini diambil contoh transponder 7H).
Gambar (1): Alokasi frekuensi transponder C-band
Berdasarkan contoh dalam gambar 1c di atas maka frekuensi maximum dari transponder 12V adalah 4200 MHz, sedangkan frekuensi minimum dari transponder 1H adalah 3700 MHz. Dengan demikian total frekuensi yang dialokasikan untuk seluruh transponder adalah 4200 – 3700 = 500 MHz.
Sementara itu jumlah total transponder seluruhnya ada 24, sedangkan bandwidth masing-masing transponder 36 MHz dan guard band 4 MHz. Jika dihitung secara linier maka akan diperoleh = 24 transpoder x (36 + 4) MHz = 960 MHz. Artinya, untuk 24 transponder @ 36 MHz dan guard band @ 4 MHz dibutuhkan bandwidth total = 960 MHz. Tetapi pada kenyataanya cukup dengan 500 MHz saja kebutuhan itu sudah tercukupi. Artinya kita bisa menghemat bandwidth hampir separonya. Hal ini bisa terjadi karena ada sifat polarisasi gelombang (elektromagnetik) yang bisa dimanfaatkan, yaitu bahwa dua buah gelombang yang polarisasinya saling tegak lurus akan terisolasi satu sama lain. Besarnya faktor isolasi ini adalah sekitar 30 dB atau seper-seribu. Dengan kata lain, dua buah sinyal dapat menggunakan satu frekuensi yang sama asalkan polarisasinya berbeda 90 derajat. Dengan memanfaatkan fenomena ini maka kita bisa menghemat bandwidth hingga separonya.
POLARISASI ANTENA
Isolasi sinyal berdasarkan polarisasi ini dapat dijelaskan sebagia berikut. Perhatikan gambar 2a di bawah ini, dimana antena pemancar dan penerima sengaja dibuat sama-sama tegak (polarisasi = vertikal). Antena pemancar yang dilalui oleh arus listrik akan membangkitkan medan magnet yang melingkari antena pemancar itu. Medan magnet ini kemudian akan menginduksi antena penerima, dana berhubung posisi antena penerima ini juga tegak (vertikal) maka banyak sekali medan magnet yang memotong penampangnya. Akibatnya arus yang ditimbulkan oleh antena penerima menjadi paling maksimal.
Jika misalnya antena penerima ini bisa diputar perlahan-lahan, maka makin miring posisi antena penerima itu, araus listrik yang dihasilkannya akan semakin menurun, karena makin sedikit medan magnit yang memotong penampangnya. Hingga kemudian posisi antena penerima itu tepat tegak lurus terhadap antena pemancar (gambar 2b). Nah pada posisi inilah arus listrik yang dihasilkan oleh antena penerima paling minimal. Ini adalah merupakan prinsip paling mendasar dari elektromgnetisme.
Perbandingan antara daya minumum terhadap daya maksimum yang diterima oleh antena penerima itu adalah sekitar 30 dB. Dengan demikian menjadii jelas bahwa bila antena pemancar dan penerima polarisasinya berbeda sebesar 90 derajad maka akan terdapat isolasi antara antena pemancar dan antena penerima sebesar kira-kira 30 dB. Sifat inilah yang kemudian dimanfaatkan dalam sistem komunikasi satelit. Sebab pemisahan (isolasi) dua buah sinyal sebesar 30 dB (seper-seribu) sangatlah berarti dalam sistem komunikasi satelit.
Sekedar gambaran, jika kita punya penggaris sepanjang 1 meter maka seper-seribu dari 1 meter adalah 1 milimeter. Kita masih bisa dengan mudah melihat seberapa panjang 1 milimeter itu. Tapi bila kita punya penggaris yang panjangnya hanya 1 milimeter maka seper-seribu dari 1 mili meter itu sangat lah kecil sekali, sehingga bolehlah kita abaikan. Analogi seperti inilah yang dipakai dalam sistem komunikasi satelit. Bahwa sinyal yang masuk ke dalam feedhorn antena parabola itu levelnya sangat kecil sekali (sekitar 1 pico watt = 10 pangkat minus 12), sehingga sinyal yang levelnya seper-seribu dari 1 picowatt pastilah sangat kecil sekali sehingga bisa diabaikan.
Gambar (2): Ilustrasi dari pengertian polarisasi antena
Berdasarkan polarisasi inilah kemudian setiap transponder diberi nama sesuai nomor urut dan polarisasinya masing-masing. Selanjutnya secara konsensus, penyebutan polarisasi mengacu sinyal down link. Artinya jika kita menyewa transponder dan diberi satu slot frekuensi pada transponder 5V misalnya, maka itu berarti kita harus mengatur antena penerima kita (down link) pada polarisasi vertikal. Pemberian nama ini juga dimaksudkan untuk kemudahan pointing antenna. Jika kita hendak memasang SNG atau perangkat Up-Link lain, tidak serta merta kita bisa langsung memancarkan sinyal ke arah satelit. Tetapi pertama kali yang harus dilakukan adalah mengarahkan antena parabola ke arah satelit. Inilah yang disebut dengan pointing, yaitu mengarahkan antena ke arah satelit. Pada saat pointing yang diperlukan adalah sebuah sinyal referensi berikut polarisasinya (dalam contoh ini polarisasinya adalah vertikal). Artinya kita membutuhkan sinyal down link pada polarisasi vertikal sebagai referensi untuk memastikan bahwa arah antena kita sudah benar.
Setelah pointing dan referensi sinyal pada polarisasi vertikal itu sudah didapat, maka barulah kita bisa mengirim atau memancarkan sinyal ke arah satelit. Akan tetapi sinyal yang kita pancarkan ini menggunakan polarisasi horizontal. Jadi antara sinyal yang kita kirim dan yang kita terima polarisasinya berbeda 90 derajad. Hal ini dimaksudkan untuk mengisolasi antara sinyal yang kita kirim dengan yang kita terima. Meskipun sinyal yang kita kirim yang dan yang kita terima frekuensinya sudah pasti berbeda, tapi kedua sinyal ini polarisasinya juga dibedakan agar keduanya benar-benar saling terisolasi satu sama lain. Dengan demikian antara sinyal yang kita kirim dan yang kita terima dapat dipastikan tidak akan saling mengganggu.
Gambar (3): Contoh produk Feedhorn Antena atau sering disebut Orto Mode Transducer (OMT) dimana
terlihat jelas bahwa antara Port Tx dan Port Rx polarisasinya berbeda 90 derajad.
Sekedar contoh perhatikan gambar 1a di bagian transpoder 1H. Jika kita mengirim sinyal dng frekuensi uplink (F/U) = 5945 MHz dan polarisasinya adalah Vertikal, maka di dalam satelit sinyal tersebut akan digeser frekuensinya menjadi frekuensi down link (F/D) = 3720 MHz dan dipancarkan ke bumi dengan polarisasi Horizontal.
Untuk mengisolasi Tx dan Rx berdasarkan polarisasinya secara praktis relatif mudah, yaitu dengan membuat Port Tx dan Port Rx saling tegak lurus satu sama lain. Cara ini diimplementasikan dalam Feed Horn antenna sebagimana diperlihatkan dalam gambar (3) di atas, dimana terlihat jelas bahwa posisi waveguide antara port Tx dan Port Rx saling tegak lurus (berbeda 90 derajad). Selanjutnya dengan Feed Horn ini kita bisa memancarkan sinyal ke arah satelit (uplink) dan sekaligus menerimanya kembali pada frekuensi dan polarisasi yang berbeda. Beda frekuensi ini adalah 2225 MHz dan beda polarisasinya adalah 90 derajad.
Perbedaan frekuensi antara Tx dan Rx ini merupakan hasil kerja dari rangkaian Penggeser Frekuensi yang ada di dalam satelit. Frekuensi 2225 MHz ini kemudian dijadikan referensi untuk menghitung besarnya F/U atau F/D bila salah satu dari keduanya sudah ditetapkan. Misalnya sudah ditetapkan frekuensi F/D = 3930 MHz. Itu berarti kita harus mengirim sinyal up link frekuensi = 3930 + 2225 = 6155 MHz.
CROSS POLE
Melanjutkan contoh di atas kita sudah mendapat slot frekuensi F/D = 3930 MHz. Persoalannya kemudian adalah bahwa frekuensi 3930 MHz tersebut masuk dalam transponder 6H dan 6V [perhatikan gambar (4) di bawah ini]. Dengan demikian akan menjadi rancu tentang transpoder mana yang akan kita gunakan. Itulah sebabnya informasi frekuensi saja tidak cukup, sehingga informasi tentang nama transpoder berikut polarisasinya juga harus diikutsertakan.
Taruhlah misalnya informasi yang kita dapat sudah lengkap: frekuensi = 3930 MHz dan nama Transponder = 6V. Nah sekarang kita tahu bahwa pada frekuensi yang sama tetapi polarisasinya horizontal, kemungkinan ada sinyal yang digunakan oleh orang lain. Jika pengaturan polarisasi antena kita tidak tepat maka sinyal orang lain itu akan menganggu kita, dan sebaliknya sinyal kita juga akan mengganggu orang lain. Oleh sebab itu perlu dilakukan kalibrasi polarisasi. Kalibrasi polarisasi ini sering disebut dengan Cross Pole Interference.
Gambar (4): Contoh pemakaian satu frekeunsi untuk dua sinyal yang berbeda polarisasinya
Pengukuran Cross Pole Interference adalah sebuah upaya untuk mengetahui seberapa besar interferensi yang diakibatkan oleh sinyal pada frekuensi yang sama tetapi polarisasinya bersebrangan (cross pole). Cara yang umum dilakukan adalah kita harus mengirim sinyal carrier murni (tanpa pemodulasi) dangan daya pancar yang cukup ke arah satelit (up linkj). Dengan demikian sinyal yang kita pancarkan ini dapat diterima secara jelas di penerima. Kemudian operator satelit (yang umumnya memiliki antena penerima berdiameter besar sehingga mampu menangkap sinyal yang lemah) akan menerima sinyal dari satelit (downlink) di kedua polarisasi yang berbeda (vertikal maupun horizontal).
Pada polarisasi yang sama akan diperoleh level sinyal yang besar, sedangkan pada polarisasi yang berseberangan (cross pole) akan diperoleh level sinyal yang jauh lebih kecil. Level kedua sinyal ini kemudian dapat diukur perbedaannya. Jika perbedaannya masih di bawah 30 dB berarti polarisasi antena belum terkalibrasi dengan tepat. Untuk itu Feed Horn harus diputar-putar sedemikian rupa sehingga diperoleh polarisasi yang tepat. Polarisasi antenna dikatakan sudah terkalibrasi dengan tepat bila perbedaan levelnya lebih besar atau sama dengan 30 dB. Angka sebesar 30 dB (atau seper-seribu) dinilai cukup untuk mengisolasi dua buah sinyal dengan frekuensi sama, tapi polarisasinya berbeda. Dengan demikian kedua sinyal tidak akan saling ganggu atau saling menginterferensi. Gambar (5) di bawah ini memperlihatkan sebuah contoh hasil (print out) pengukuran cross pole dari sebuah antena parabola berdiameter 3.7 meter yang dilakukan oleh operator satelit.
Gambar (5): Contoh print out pengukuran Cross Pole Interference.
Dalam contoh ini perbedaan level sinyal pada marker N dan marker D adalah 32.9 dB
Sumber : http://www.2wijaya.com
https://dedenthea.wordpress.com/2013/06/01/bagaimana-sih-satelit-bekerja/
No comments:
Post a Comment